Maluku merupakan wilayah di Indonesia bagian Timur yang memiliki adat budaya dengan nilai yang tinggi. Meski hidup beriringan dengan kemajuan zaman, adat istiadat yang ada di Maluku tetap dilestarikan oleh masyarakat setempat.
Ada beberapa budaya yang masih dipertahankan hingga saat ini oleh mereka. adat istiadat orang Maluku ini merupakan budaya luhur dari nenek moyangnya. Apa saja budayanya?
Kalwedo merupakan adat istiadat di Maluku yang saat ini masih berjalan. Kalwedo merupakan bukti hukum kepemilikan masyarakat adat Maluku Barat Daya (MBD) yang sah. Kepemilikan ini adalah hidup bersama dengan saudara dan saudari.
Kalwedo berakar kuat pada budaya dan bahasa masyarakat adat Kepulauan Barbar dan MBD. Warisan budaya Kalwedo dicapai melalui permainan bahasa, aktivitas sehari-hari, adat istiadat dan kata-kata.
Kalwedo adalah budaya yang memiliki nilai-nilai sosial sehari-hari dan nilai-nilai religius yang sakral, menjamin keamanan abadi, kedamaian dan kebahagiaan, serta bisa hidup bersama sebagai saudara. Budaya Calvedo menyatukan masyarakat Kepulauan Barbar dan Maluku bagian barat daya dalam satu garis adat yang mempersatukan masyarakat menjadi rumah doa dan istana adat yang saling dimiliki.
Nilai budaya kalwedo diwujudkan dalam sapaan adat saudara di berbagai pulau dan negara / daerah, yaitu: inanara ama yali (saudara perempuan dan saudara). Inanara ama yali menjelaskan tentang keutamaan hidup dan warisan kemanusiaan komunitas MBD, termasuk seluruh pikiran, jiwa, pikiran dan perilaku.
Nilai-nilai Kalwedo ini menghubungkan persaudaraan masyarakat melalui tradisi hidup Niolilieta / hiolilieta / siolilieta (hidup berdampingan).
Mendengar nama batu pamali tentu saja merupakan istilah yang sedikit asing jika bukan merupaka masyarakat Maluku. Batu Pamali merupakan simbol material adat masyarakat Maluku yang masih dijaga hingga saat ini.
Di Maluku, selain Baileo, rumah tua, dan teung soa, adanya batu Pamali juga dikatakan sebagai mikrosmos dalam negeri-negeri yang ditempati oleh masyarakat asli dari Maluku.
Batu Pamali merupakan batu fondasi atau landasan yang menjadi pendirian suatu negara adat. Peletakannya ditempatkan di sebelah Bacchus dan merupakan representasi dari keberadaan leluhur (Tete Nene Moyang) dalam kehidupan masyarakat.
Baca juga: Nama Daerah Maluku
Hawear (Sasi) merupakan salah satu adat dan budaya yang saat ini masih berlaku dalam kehidupan masyarakat Kepulauan Kei secara turun menurun. Meski banyak perubahan terjadi, budaya ini tetap dipegang kuat oleh masyarakat setempat.
Beberapa representasi dari budaya hawear ini digambarkan dalam cerita rakyat, lagu rakyat, dan berbagai dokumen tertulis. Hal inilah yang membuat budaya ini masih terdokumentasi dengan baik.
Sejarah Hawear dikatakan bahwa ada seorang gadis yang diberikan daun kelapa kuning (janur kuning) oleh ayahnya. Janur kuning ini disisipkan di kain seloi. Setelah dipasangkan, gadis itu kemudian berjalan menemui raja.
Tujuan adanya pemasangan janur kuning ini adalah sebagai bukti bahwa gadis tersebut sudah memiliki suami sehingga tidak bisa diganggu oleh lelaki lain. Budaya ini masih dijalankan sesuai dengan maknanya hingga sekarang.
Upacara Fangnea Kidabela menyiratkan persatuan internal dan eksternal serta integritas komunitas Tanimbar dalam berbagai keadaan.
Upacara Fangnea Kidabela juga memiliki makna menghangatkan, memperkuat dan menstabilkan (fangnea) persahabatan, persaudaraan (itawatan) dan keakraban (kidabela), merupakan persekutuan wilayah Kampung Sulung di Pulau Enus di Selaru, sebelah selatan Pulau Yamdena.
Makna upacara Frangnea Kidabela sama dengan upacara Panas Pela yang biasanya dilakukan di Ambon, Lease, dan Maluku Tengah.
Dengan adanya budaya adat istiadat ini membuat kehidupan masyarakat yang kokoh untuk mencegah adanya konflik di masyarakat.
Arumbae merupakan bentukan karakter masyarakat Maluku (baik yang tinggal di pegunungan maupun di pesisir). Arumbae adalah budaya berlayar masyarakat Maluku. Perjuangan melintasi lautan adalah bagian dari pembentukan karakter masyarakat.
Misalnya, masyarakat Tamba dalam mitologi Barsaidi percaya bahwa nenek moyang mereka tiba di Yamdena setelah berjuang keras di laut.
Dengan menghasapi lautan, ada makna tersendiri di baliknya. Maknanya adalah masyarakat harus dinamin dan harus kuat berdaya dalam menghadapi masa depan.
Lautan adalah medan yang berbahaya, dan Arumbae mengemukakan pandangan bahwa lautan adalah area kehidupan yang harus dihadapi. Inilah mengapa orang Maluku memandang lautan sebagai jembatan persaudaraan yang menghubungkan satu pulau dengan pulau lainnya.
Berlayar ke sebuah pulau di kawasan Pela Gandong, tujuannya adalah untuk mempererat kehidupan saudara-saudari dan menjadi pandangan dunia masyarakat Moruka. Kebiasaan papalele, babalu, maano dan konsekuensi berlayar ke pulau lain menjadikan lautan dan teratai emas sebagai simbol perjuangan ekonomi.
Adanyua budaya Arumbae ini juga tergambarkan dalam berbagai karya seni. Misalnya ada pada syiar kata tujuh ya nona ditambah tujuh, sapuluh ampa ya nona dalang parao. Selain itu, beberapa ukirannya juga ada di gapura dan perahu masyarakat setempat.
Dengan menjaga adat istiadat budaya yang ada di Maluku, tentu saja menjadi salah satu hal penting untuk melestarikan budaya.
Mencari rekomendasi tempat wisata bogor dekat stasiun? ulasan ini akan memberikan bocorannya untuk Anda! Bogor,…
Bermain game domino tidak lengkap rasanya jika tidak mengalami kemenangan. Ada beberapa rumus yang biasanya…
Sudah paham cara membuat semen? Jika belum, maka Anda berada di tempat yang tepat! Semen…
Sebenarnya, berapa biaya perawatan kolam renang? Hm, kolam renang merupakan sebuah konstruksi yang membutuhkan biaya…
Dalam setiap permainan umumnya setiap orang ingin mendapatkan jackpot dalam jumlah maksimal. Tapi masih banyak…
Melakukan aktivitas tertentu di luar rumah, tentu menjadi akan menjadi momen yang berharga. Misalnya seperti…